Mengenali Ciri-ciri Anak Autisme Sejak Dini

Autisme berasal dari bahasa Yunani “Auto” yang artinya berdiri sendiri. Arti kata ini ditujukan pada seorang penyandang autisme yang seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Kanner (Suteja, 2014) mendeskripsikan autisme sebagai ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktifitas bermain yang repetitif dan stereotif, serta ingatan yang sangat kuat. Gangguan yang dialami anak autis diantaranya dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (verbal-non verbal), perilaku, perasaan/emosi, dan bidang persepsi-sensorik

Menurut Handojo (Suteja, 2014) penyebab autisme bisa terjadi saat kehamilan. Pada tri semester pertama, faktor pemicu biasanya terdiri dari infeksi (toksoplasmosis, rubella, candida, dsb), keracunan logam berat, zat adiktif (MSG, pengawet, pewarna), maupun obat-obatan lainnya. Sementara menurut Patricia Rodier, seorang ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa gejala autisme dan cacat lahir itu disebabkan karena terjadinya kerusakan jaringan otak yang terjadi sebelum 20 hari pada saat pembentukan janin. Adapun peneliti lainnya bernama Minshew menemukan bahwa anak yang terkena autisme, bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil daripada anak normal.

Deteksi dini anak autisme sangatlah penting, karena dari situlah dapat dilihat kenyataan yang ada dan dapat segera dilakukan intervensi atau penanganan yang tepat. Menurut Handojo (Suteja, 2014) usia ideal untuk mengintervensi dini anak adalah saat usianya beranjak 2-3 tahun, meskipun sulit namun tanda dan gejala autisme sebenarnya sudah bisa diamati sejak dini bahkan sebelum usia 6 bulan.

Menurut Widodo (Suteja, 2014), deteksi dini autisme dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

Deteksi dini sejak dalam kandungan.

Deteksi dini sejak janin ada dalam kandungan dapat dilakukan dengan pemeriksaan biomolekular pada janin bayi untuk mendeteksi autisme, namun pemeriksaan ini masih dalam batas kebutuhan untuk penelitian.

  1. Deteksi dini sejak lahir hingga usia 5 tahun.

        1. Usia 0-6 bulan.

  • Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis).
  • Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik.
  • Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama ketika mandi.
  • Tidak ditemukan senyum sosial di atas 10 minggu.
  • Tidak ada kontak mata di atas 3 bulan.
  • Bila digendong, mengepal tangan atau menegangkan kaki secara berlebihan.

         2.Usia 6-12 bulan.

  • Sulit bila digendong (kaku atau tegang).
  • Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan.
  • Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal.
  • Tidak bereaksi terhadap suara atau kata.
  • Selalu memandang lama suatu benda atau tangannya sendiri.
  • Terlambat dalam perkembangan motorik kasar dan halus.

          3. Usia 12 bulan – 2 tahun.
    • Tidak mau permainan sederhana (cilik ba, da da).
    • Tidak mengeluarkan kata.
    • Tidak tertarik pada mainan.

      4. Usia 2-3 tahun.
    • Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain.
    • Melihat orang sebagai “benda”.
    • Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah.
    • Kontak mata terbatas.
    • Tidak pernah fokus.
    • Tertarik pada benda tertentu.
    • Kaku terhadap orang lain.
    • Senang digendong dan malas menggerakkan tubuhnya.

      5. Usia 4-5 tahun.
    • Suka berteriak-teriak.
    • Sering ecolalia (membeo) atau menirukan suara orang.
    • Mengeluarkan suara aneh.
    • Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala).
    • Gampang marah atau emosi apabila rutinitasnya diganggu dan kemauannya tidak dituruti.
    • Agresif dan mudah menyakiti diri sendiri.

Daftar Pustaka:

Rahayu, Sri Muji. 2014. Deteksi dan Intervensi Dini Pada Anak Autis. Jurnal Pendidikan Anak, III (1): 421-422.

Suteja, Jaja. 2014. BENTUK DAN METODE TERAPI TERHADAP ANAK AUTISME AKIBAT BENTUKAN PERILAKU SOSIAL. Jurnal Edueksos, III (1): 121-132.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *